Ucapan Turut Berduka Cita (Korban Banjir Bandang Sibolangit)


Banjir Bandang

Pertama (dan berharap ini yang terakhir kalinya) dalam hidupku melihat dan mengalami langsung musibah bencana alam yang super dahsyat dan dapat selamat melewatinya (dengan susah payah tentu saja).

Siapa juga yang bisa menduga kegiatan diakhir pekan yang bertajuk tamasya ke alam bersama teman-teman Gmki Fakultas Kesmas Usu yang seharusnya bejalan dengan gembira, menyenangkan dan akrab harus berubah menjadi pengalaman yang mengerikan, penuh jerit ketakutan, ratapan, doa, air mata dan gemeretak gigi.

Kalian gak akan bisa membayangkannya, gak akan bisa meski dengan imajinasi paling gila sekalipun.

Curahan lumpur yang pekat mengisi rongga mulut, hidung, telinga dan menutupi mata. Runtuhan batu dan potongan kayu yang tidak jarang menimpa tubuh dan kepala. Tanah pijakan kaki yang bergetar. Ditambah gemuruh keras, ledakan petir, suhu dingin yang menusuk tulang. Lengkap sudah, menjadi makin spesial dibumbui berbagai macam pekikan.

Selama kurang lebih 30 menit kami (aku dan sekitar 40 orang) berdesakan saling berangkulan di salah satu pojokan tebing disisi kiri air terjun yang tengah mengamuk. Tidak bergerak dan tidak punya banyak harapan, pasrah. 30 menit terlama dan paling menyiksa yang pernah kulalui.

Bersama dua orang lainnya (kakanda Gibeon Ippo dan sang ketua komisariat Abdon Marke ßäncin) aku berdiri disisi paling luar kelompok. Posisi paling dekat dengan curahan air terjun. Merasakan langsung percikan air dan lumpur dari ketinggian 70an meter yang seperti jarum menusuk kulit.

Sakit? Jelas. Tapi lebih sakit lagi ketika menyadari bahwa kalau terus bertahan dalam posisi ini, maka kami akan segera menyerah dan mati tanpa perlawanan dan aku gak mau segampang itu mati.

Maka kami mulai mencari cara agar dapat mencapai tempat yang lebih aman. Satu-satunya tempat yang memungkinkan adalah turun kearah rute pulang, dengan menyadari konsekuensi bahwa ditempat yang lebih rendah resiko air meluap dan menyapu tempat tersebut lebih besar.

Beruntung pada saat itu diantara kami ada Freddy Tumanggor, manusia dengan perinsip "Bodo Amat"nya yang melegenda. Dengan tekad dan nekat dia turun untuk mencari lokasi yang lebih aman. Aku pun menyusul kebawah dengan mengandalkan insting. Ya, insting. Karena mata sudah hampir tidak dapat melihat lagi.

Setelah merasa yakin bahwa ada tempat aman yang dapat dijangkau, kami mengajak kumpulan tersebut untuk berpindah. Bukan hal yang mudah untuk meyakinkan mereka bahwa penilaian kami mengenai tempat yang aman itu sudah benar. Si Freddy sampai menggunakan nama Yesus untuk membuat mereka mau turun ketempat yang kami tunjukkan. Maka bergeraklah kumpulan manusia itu ke bawah. Sambil tetap merapat ke tebing, berjaga-jaga bilamana air meluap.

Tempat yang kami tuju adalah tanah datar yang tidak lebih luas dari lapangan badminton diapit oleh sungai dan tebing, berjarak sekitar 100 meter dari air terjun. Cukup aman memang rasanya (dan kenyataannya).

Disana kami mulai membersihkan badan, menghitung anggota, mendirikan tenda dari terpal-terpal bekas, menghidupkan api, merawat yang sakit dan beberapa orang yang pingsan. 

Salah satunya adalah si Abdon yang terkena Hipotermia. Bibirnya sudah membiru, badan kaku, wajah, kaki dan tangan pucat. Kami panik. Kami melakukan segala upaya yang kami bisa untuk mengembalikan suhu tubuhnya. Memasangakan baju yang lumayan kering, menggosok-ngosok seluruh badannya, mendekatkan tubuhnya ke api bahkan sampai beramai-ramai memeluknya. Beruntung walau berlahan kondisinya dapat membaik.

Ditempat itu lah kami bertahan, saling menguatkan, saling menghibur sambil menunggu air surut dan bantuan datang.

Beruntung Saat sore hampir berganti malam beberapa orang dari posko pendaftaran datang dan atas panduan merekalah kami dapat berjalan pulang, kembali ke posko pendaftaran, menyebrangi sungai yang masih berarus deras, menyusuri hutan saat malam dengan penerangan yang sangat minim dan sampai ke posko pendaftaraan saat tengah malam.

Masih banyak kisah yang hendak ku ceritakan, seperti upaya kami untuk menolong orang-orang yang terjebak diatas tebing disebrang sungai atau proses perjalanan pulang yang menguras tenaga. Tapi keterbatasan media menghambatnya. Postingan selanjutnya akan menceritaka tentang itu.

sumber : fb Iron Tambunan 
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net

0 komentar:

Post a Comment