Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang Penelitian PhD di Munich, Jerman
Sewaktu pertama kali datang ke kota Munich di Jerman 3 tahun yang lalu, saya tidak suka kota ini. Orang-orangnya tidak ramah. Mereka bergerak amat cepat, dan tidak peduli dengan orang lain. Suasananya menciptakan kesepian dan rasa tegang.
Namun, setelah tinggal disini beberapa lama, pendapat saya berubah. Orang-orang Munich tetap cuek dan berjalan amat cepat, tetapi itulah budaya dan kebiasaan mereka. Ini tidak baik, dan juga tidak buruk. Dalam banyak aspek, Munich adalah kota yang nyaman sebagai tempat tinggal, dan membangun keluarga.
Jadi, awalnya, saya berpikir A. Dan kemudian, saya berpikir B. Berikutnya, mungkin, saya akan berpikir C. Yang mana yang benar? Bagaimana memahami pikiran yang berubah-ubah ini?
Pikiran Manusia
Kota Munich tetap ada disini dan saat ini. Namun, kesan saya berubah. Pengalaman saya berubah. Kesan dan pengalaman saya pun mempengaruhi sikap hidup saya disini.
Darimana datangnya kesan dan pengalaman? Jawabannya jelas, yakni dari pikiran. Dari mana asal pikiran manusia? Ini pertanyaan menarik yang mendorong para ilmuwan dari berbagai bidang untuk melakukan penelitian.
Kesan biasanya muncul dari pengamatan. Kita melihat dan mengamati sesuatu, lalu timbul kesan tertentu tentang sesuatu itu. Bisa dibilang, dari pengamatan lalu muncul pikiran, dan kemudian kesan. Namun, pengamatan pun selalu membutuhkan pikiran.
Jika disederhanakan, urutannya begini. Pengamatan dengan indera dan pikiran, lalu melahirkan kesan. Kesan lalu melahirkan pendapat, dan pendapat lalu mendorong tindakan. Tindakan lalu membentuk realitas, dan akhirnya, realitas itu diamati lagi dengan indera dan pikiran. Begitu seterusnya.
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa realitas adalah hasil dari bentukan pikiran kita. Karena pikiran kita berubah seturut dengan pengamatan dan kesan, maka realitas hidup kita pun berubah. Hari ini, kita bahagia. Besok, mungkin ada masalah yang datang.
Pikiran kita begitu mudah berubah, karena berbagai hal, mulai dari kondisi biologis sampai sosial politik. Oleh karena itu, kita bisa membuat kesimpulan, bahwa pikiran kita bukanlah kebenaran itu sendiri. Ia bisa salah, dan bahkan seringkali salah. Realitas hasil ciptaan pikiran kita pun bukanlah realitas sesungguhnya.
Menyingkapi Pikiran
Jika pikiran kita kerap kali salah, lalu bagaimana kita harus hidup? Pertanyaan ini, pada hemat saya, harus dipukul lebih jauh dengan pertanyaan berikut, apakah diri kita hanya pikiran kita semata? Apakah pikiran di kepala kita identik dengan keseluruhan diri kita? Jika dipikiran secara mendalam, jawabannya jelas: bukan.
Jadi, biarkan pikiran datang dan pergi. Jangan percaya dengan pikiranmu. Anda dan saya tidaklah sama dengan pikiran yang datang dan pergi di kepala kita. Gunakan pikiranmu seperlunya, namun jangan pandang dia mentah-mentah sebagai kebenaran mutlak tentang segalanya.
Inilah yang disebut kebebasan sesungguhnya. Orang yang bebas dari pikirannya sendiri berarti ia tidak diperbudak oleh suara-suara yang ada di kepalanya. Ia bisa berpikir dengan jernih untuk menyingkapi berbagai hal dalam hidupnya. Ia bisa menjadi orang yang bijaksana di dalam beragam keadaan.
Ketika sedih datang, kita sedih. Ketika gembira datang, kita gembira. Kita biarkan semuanya datang dan pergi, tanpa keinginan untuk memegang erat-erat pikiran yang datang. Ingat, kita bukanlah pikiran kita.
Tidak Tahu
Jika pikiran kita kerap kali salah, maka apa yang harus kita percaya di dalam hidup kita, terutama untuk membuat beragam keputusan? Pertama, kita harus s
adar, bahwa pengetahuan kita tentang dunia tidak pernah sepenuhnya benar. Dengan kata lain, kita sesungguhnya tidak tahu, apa yang ada di dalam realitas.
Ketika kita sepenuhnya sadar, bahwa kita tidak tahu, maka semuanya akan menjadi jelas. Inilah yang disebut sebagai “pikiran tidak tahu”, yakni pikiran yang terbuka untuk beragam kemungkinan. Pikiran semacam ini jauh dari keyakinan akan kebenaran mutlak. Ketika kita hidup dengan “pikiran tidak tahu ini”, maka intuisi kita akan terlatih.
Intuisi adalah pengalaman langsung dengan kehidupan, tanpa bahasa dan tanpa konsep. Dengan kata lain, intuisi adalah pengalaman langsung dengan kehidupan, tanpa menggunakan pikiran. Ketika intuisi kita terlatih, kita akan tahu apa yang harus dilakukan di dalam berbagai situasi dalam hidup kita. Kebenaran sejatinya sudah jelas di depan mata kita. Hanya pikiran kita yang menghalangi kita untuk sungguh mengalami kebenaran itu.
sumber : https://rumahfilsafat.com/2015/08/01/sekali-lagi-tentang-pikiran-manusia/
sumber : https://rumahfilsafat.com/2015/08/01/sekali-lagi-tentang-pikiran-manusia/
0 komentar:
Post a Comment