Zen dalam Lukisan, Puisi dan Bela Diri

Oleh Reza A.A Wattimena
Di dalam praksisnya, Zen tidak hanya dapat dirasakan sebagai pengalaman pencerahan batin, tetapi juga bisa dilihat. Ini sejalan dengan pepatah Kuno, bahwa menunjukkan bernilai seratus kali lebih tinggi daripada mengatakan. Pada titik ini, ekspresi Zen juga dapat dilihat di dalam seni. Seni di dalam Zen memiliki bentuk yang unik. Ia tidak sibuk dengan simbol-simbol untuk menyampaikan pesan moral tertentu, seperti yang banyak ditemukan di dalam seni-seni religius lainnya. Obyek utama dari seni di dalam Zen adalah hal-hal alami yang terjadi di dalam keseharian manusia. Bahkan, ketika mereka mencoba menggambarkan Buddha di dalam karya-karya mereka, para artis Zen mencoba mengekspresikannya semanusiawi mungkin.
Lukisan pada umumnya mencoba menangkap apa yang terjadi di dalam alam, dan menggambarkannya ulang. Jadi masih ada perbedaan antara alam dan lukisan. Di dalam tradisi Zen, lukisan justru dianggap sebagai karya alam itu sendiri yang bergerak melalui tangan manusia. Inilah yang disebut sebagai “seni tanpa seni”. Para Zen master juga menyebutnya sebagai “kecelakaan yang diatur”, guna menekankan unsur alami dan spontanitas di dalamnya. Yang paling penting di dalam karya seni Zen adalah keadaan pikiran dari orang yang melakukannya. Pikiran harus menyatu sepenuhnya dengan segala sesuatu, yakni dengan alam semesta itu sendiri. Tidak ada perbedaan antara aku dan dunia. Tidak ada perbedaan antara sikap natural dan spontan alam dengan tindakan manusia.
Di peradaban Barat, karya seni lahir dari tradisi filsafat dan religius yang melihat roh sebagai sesuatu yang berada berbeda dari alam material.
f2ab32b65ba04c038712c2a7988571d5d2d05b62
Roh ini lalu bergerak dari surga untuk menciptakan segala sesuatu di dunia. Di dalam agama Kristiani, roh ini disebut juga sebagai Tuhan. Sang artis mencoba menafsirkan kekuatan spiritual dari roh tersebut, dan menuangkannya ke dalam lukisannya. Ada nuansa tegangan antara roh dan materi disini. Materi ingin ditundukkan demi kepentingan roh, dan juga dengan kekuatan roh itu sendiri. 

Kecenderungan untuk menaklukkan dan menguasai ini juga ditemukan di dalam ilmu pengetahuan. Para ilmuwan bekerja untuk menaklukkan alam, demi kepentingan manusia.

Pandangan semacam ini bertentangan dengan seluruh pandangan Filsafat Timur. Di dalam pemahaman Timur, terutama Zen, manusia tidaklah dilihat sebagai unsur yang terpisah dari alam. Misalnya, ketika kita mendaki gunung, itu bukanlah semata usaha kita sendiri sebagai manusia, melainkan usaha dari gunung itu yang mengangkat kita ke atasnya. Hal ini juga terjadi di dalam seni. Ketika kita melukis, yang berperan bukan hanya tangan kita, tetapi juga kuas untuk melukis beserta catnya pun berperan di dalam menghasilkan lukisan. Jadi, seluruh tindakan manusia adalah tindakan alam itu sendiri. Keberadaan manusia bagaikan keberadaan dari titik air di dalam lautan luas. Apapun yang ia lakukan selalu melibatkan seluruh lautan yang ada.
Filsafat Timur, terutama Taoisme dan Zen, adalah pandangan filosofis yang melihat manusia sebagai bagian dari lingkungannya. Jadi, alam adalah “rumah” bagi manusia. Roh dan materi adalah bagian dari alam, dan semuanya terhubung dalam suatu jaringan yang seimbang. Langit dan bumi adalah bagian dari jaringan semesta ini. Unsur terdasar dari tata semesta ini adalah Yin dan Yang. Keduanya merupakan simbol dari dua hal yang bertentangan, namun berhubungan secara seimbang untuk menopang tata semesta yang ada. Pengandaian dasar dari seluruh Filsafat Timur adalah, bahwa segala hal yang bertentangan sebenarnya saling berhubungan satu sama lain. Jadi, pertentangan itu hanya penampakan saja. Sejatinya, ia harmonis. Dari sudut pandang ini, setiap bentuk konflik selalu hanya terjadi di permukaan saja. Tidak ada konflik yang terjadi secara absolut, karena segala hal yang bertentangan sebenarnya secara fundamental saling terhubung. Pada titik ini, segala bentuk pembedaan, seperti antara materi dan roh, antara subyek dan obyek, antara baik dan buruk, dan antara artis dengan obyek karyanya, tidak dikenal.
Prinsip dasar dari seluruh realitas adalah relativitas. Segala ekstrem hanya merupakan penampakan semata, karena ia terhubung dan membutuhkan ekstrem lainnya. Tidak ada awal dan tidak ada akhir. Tidak ada tujuan yang ingin dicapai, karena segalanya sudah selalu terhubung di dalam jaringan disini dan saat ini. Karena itu, hidup lalu dijalani dengan perlahan. Tidak perlu buru-buru. Sikap tenang dan santai adalah sikap yang secara langsung mencerminkan ciri alam itu sendiri. Ketika kita melihat gerak alam dan segala isinya, tidak ada yang terburu-buru. Semua dilakukan pada waktunya. Ketika ciri alamiah dan spontan digantikan dengan sikap buru-buru, maka penderitaan menanti. Ketika orang terpaku pada ambisi atau tujuan tertentu, maka ia tidak akan pernah bisa menangkap esensi dari kehidupan itu sendiri.
Hubungan guru dan murid di dalam Zen, juga di dalam tradisi seninya, itu bagaikan hubungan antara tukang kebun dan pohon yang dirawatnya. Sang guru ingin muridnya memiliki cara pandang pohon, yakni sikap alami tanpa tujuan. Tidak ada yang perlu dikejar secara terburu-buru. Setiap saat dan segala hal yang dilakukan, termasuk yang terlihat paling sederhana pun, adalah sekaligus awal dan akhir. Semuanya penting dan sekaligus, semuanya tidak penting. Dengan demikian, di dalam tradisi dan cara berpikir Zen, seorang guru yang paling bijak dan dihormati sekaligus juga adalah seorang pemula yang paling kosong. Tidak ada pencerahan batin yang perlu dicapai, karena pencerahan batin adalah gerak kembali ke sebelum titik nol. Di titik ini, segalanya menjadi jelas dan terbuka dengan sendirinya. Inilah kebebasan yang sesungguhnya.
Dasar dari pandangan Zen adalah, bahwa hidup itu tidak memiliki tujuan. Hidup hanya ada dengan sendirinya, dan bergerak tanpa arah. Jika orang hidup dengan terburu-buru, maka ia justru akan kehilangan makna hidupnya. Sebaliknya, jika orang melihat hidup hanya sekedar hidup, tanpa ambisi dan tujuan untuk dicapai, maka justru ia bisa merasakan kekayaan yang sesungguhnya dari hidup itu sendiri. Ketika orang sepenuhnya tenang, seluruh tubuh dan jiwanya terbuka untuk merasakan kekayaan dunia. Ketika orang tidak terburu-buru, ia bisa membiarkan alam bekerja secara alami dengan prinsip-prinsipnya. Ini juga sejalan dengan prinsip Taoisme, yakni membiarkan segala sesuatu tumbuh, tanpa campur tangan apapun. Ketika pikiran manusia bergerak secara alami dan spontan sesuai dengan prinsip-prinsip alam, maka segala tindakannya pun mengalir di antara berbagai peristiwa, tanpa konflik. Pada titik ini, tidak ada larangan moral, seperti yang banyak ditemukan di dalam agama-agama. Yang menentukan mutu sebuah tindakan adalah cara berpikir yang ada di balik tindakan itu. Apakah tindakan tersebut sudah sejalan dengan prinsip-prinsip alami dan spontan dari alam?
Cara berpikir semacam ini kemudian diterapkan dalam beragam karya seni, terutama lukisan dan puisi. Profesi artis, dan hampir semua profesi lainnya, di Cina dan Jepang selalu dilihat tidak hanya sebagai profesi semata, tetapi juga memiliki dasar spiritualitas. Dalam konteks ini, dasar spiritualitas mayoritas artis Cina dan Jepang adalah Zen, Taoisme dan Konfusianisme. Prinsip ketiga aliran filosofis ini tertanam begitu dalam tidak hanya di kalangan artis dan kaum religius di Cina dan Jepang, tetapi juga di kalangan arsitek, penguasa politik dan pedagang. Pola ini masih bisa ditemukan di Jepang, Cina dan Korea sekarang ini.
Raining_1024x1024
Pada tahun 845, pemerintah Cina hendak menghancurkan semua aliran Buddhisme di cina. Karena karakternya yang unik, Zen lolos dari pengejaran ini. Pengaruhnya terhadap kebudayaan Cina pun justru semakin dalam. Puncak perkembangan Zen terjadi pada 1127 sampai 1279, yakni pada masa pemerintahan Dinasti Sung di Cina. Pada masa ini, biara Zen menjadi tempat belajar dari beragam orang, mulai dari ahli Taoisme, ahli Konfusianisme sampai dengan rakyat jelata. Sebagai dampak dari proses ini, para Zen master pun juga mempelajari berbagai hal terkait dengan Taoisme dan Konfusianisme. Para ahli filsafat di Cina biasanya adalah seorang pelukis dan penulis puisi. Jadi, tidak ada perbedaan tegas di antara tiga peran sosial tersebut.
Para Zen master juga bukan orang yang hanya sibuk soal hal-hal religius. Mereka juga biasanya adalah seniman. Mereka berkarya tentang beragam hal, dari keadaan perdagangan di pasar, sampai dengan angsa yang sedang bercinta di kolam di tepi bukit. Pada masa ini terjadi persilangan dari berbagai displin yang kemudian menghasilkan beragam karya seni dan filosofis yang pengaruhnya masih bisa dirasakan sampai sekarang. Inti semangatnya adalah sikap alami dan spontan yang juga merupakan ciri dari seluruh alam ini. Pada masa ini, beberapa biksu dari Jepang datang ke Cina untuk belajar, dan kemudian kembali ke Jepang dengan beragam karya seni, teh, sutra Buddhisme, kain, alat musik, obat-obatan, filsafat maupun semangat Zen dari Cina. Beberapa artis, filsuf dan Zen master dari Cina juga kemudian datang ke Jepang untuk menyebarkan dan melestarikan karya mereka.
Ciri khas dari karya seni di dalam tradisi Zen adalah kaligrafi. Ini adalah lukisan dengan menggunakan tinta hitam di atas kertas. Bentuknya biasanya berupa lukisan dan puisi di atas kertas yang sama. Warna hitam di dalam kaligrafi pun memiliki beragam jenis. Ini tergantung campuran air yang digunakan. Melukis dan menulis selalu menggunakan kuas yang memiliki ujung runcing. Ketika melukis dan menulis, tangan tidak boleh mengenai kertas. Orang yang menulis atau melukis kaligrafi terlihat tidak seperti sedang menulis atau melukis, melainkan seperti menari. Kuas adalah alat yang sempurna untuk mengekspresikan spontanitas dan sikap alami, tanpa pertimbangan rasional apapun. Bahkan, satu goresan dengan kuas bisa menggambarkan karakter seseorang.
Di masa dinasti Sung, para Zen master biasanya juga seorang pelukis dan penulis puisi. Tema utama karya mereka adalah alam. Beragam gunung, sungai, bukit, kabut, batu, pohon dan burung digambarkan dari sudut pandang penghayatan Zen. Di dalam karya-karya ini, alam bukanlah sesuatu untuk dikuasai dan digunakan semata demi kepentingan manusia. Alam adalah sesuatu yang sudah cukup pada dirinya sendiri. Ia tidak memiliki tujuan apapun. Ia tidak untuk digunakan oleh siapapun atau apapun. Unsur alami, spontan dan ketanpatujuan inilah yang ingin disampaikan melalui beragam karya seni di dalam tradisi Zen. Ciri lainnya yang juga penting untuk diperhatikan adalah kemampuan para pelukis Zen untuk menyampaikan “kekosongan” di dalam lukisan mereka. Dalam arti ini, kekosongan adalah bagian integral dari lukisan, dan bukan sekedar latar belakang yang tidak penting. Bahkan, kekosongan yang mengisi sebagian besar lukisan justru membuat seluruh lukisan tampak hidup.
enso_moon
Di dalam tradisi Zen, model semacam ini sering juga disebut sebagai “melukis tanpa melukis”. Kuncinya adalah keseimbangan antara kekosongan dan isi, atau kapan orang harus berhenti melukis, dan membiarkan kertas putih menampilkan dirinya. Ini tentu saja sesuai dengan semangat Zen, yakni tanpa penjelasan, tanpa konsep dan tanpa bahasa, sehingga jati diri asali manusia bisa menampilkan dirinya apa adanya. Seni menggunakan kuas juga harus diperhatikan. Prinsipnya adalah tahu kapan harus menggunakan kekuatan untuk menggoreng ketebalan, dan kapan harus bergerak pelan, guna menghasilkan goresan kuas yang elegan. Yang hendak dihasilkan adalah lukisan yang seolah bukan lukisan, melainkan goresan yang dibuat secara kebetulan. Unsur alami dan kebetulan perlu untuk ditonjolkan dengan jelas. Obyek lukisannya adalah bagian dari kehidupan sehari-hari manusia dan alam, seperti ranting pohon, burung, gunung, dan pemandangan alam.
Lukisan harus mencerminkan prinsip-prinsip alami. Tidak ada simetri yang dibuat secara sengaja. Tidak ada konsistensi yang direncanakan secara cermat, ketika goresan dibuat. Unsur spontan ditonjolkan lebih dari kontrol dan ketepatan. Keberagaman tekstur yang muncul dari goresan spontan dibarengi dengan semangat dan kondisi “tanpa pikiran” menjadi dasar dari lukisan Zen. Goresan menjadi begitu kasar dan mentah. Namun, itulah kehidupan yang sesungguhnya, tanpa polesan dan kepura-puraan apapun. Lukisan lingkaran Zen juga dibuat dengan pola berpikir semacam ini. Yang ingin dicapai adalah keadaan pikiran sealamiah mungkin yang menghasilkan goresan lukisan yang juga sealamiah mungkin. Dengan cara ini, lingkaran Zen menjadi lingkaran hidup. Ini juga berlaku untuk semua objek lukisan lainnya di dalam tradisi Zen.
Cara pandang kita begitu dalam dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan filsafat modern. Di sini, alam dimengerti sebagai tatanan yang memiliki aturan dan simetri. Alam juga dipecah ke alam bagian-bagiannya yang dapat diukur dengan cara-cara tertentu. Akibatnya, kita pun hidup dengan cara pandang mekanis terhadap alam. Alam dilihat sebagai tatanan yang teratur dan pasti. Segala bentuk kebetulan dan spontanitas tidak lagi diperhitungkan. Akan tetapi, tatanan yang tampak teratur dan mekanis ini bukanlah kenyataan yang sesungguhnya. “Kenyataan apa adanya” tidak bisa ditangkap dengan konsep-konsep yang dibuat oleh pikiran manusia, termasuk juga oleh beragam konsep matematis yang biasa kita gunakan. Ia tampil pada detik ini secara spontan dan kemudian berubah. Hanya ada satu prinsip yang sesungguhnya menggerakan alam ini, yakni prinsip ketidakpastian. Filsafat Timur, dan seni yang diinspirasikannya, merasa nyaman dengan kenyataan yang penuh dengan kebetulan dan ketidakpastian ini.
Lukisan tentang para Zen Master di masa lalu juga menggambarkan pola “tanpa pola” ini. Para Zen master berdialog dengan murid-muridnya. Suasana dipenuhi dengan teriakan, pukulan dan bahkan tawa renyah. Semuanya menggambarkan semangat Zen: apa adanya. Bahkan, ada beberapa Zen master yang digambarkan sebagai pengemis dan orang gila. Mereka hidup dengan spontanitas, sikap alami, intuisi serta penghayatan penuh atas kekosongan. Zen mungkin satu-satunya spiritualitas yang bisa menertawakan dirinya sendiri, dan bahkan menghina dirinya sendiri, tanpa merasa takut ataupun tersinggung. Bahkan, mereka merayakan semua bentuk cercaan dan canda yang mereka terima. Ada hubungan yang amat erat antara sikap irasional yang tidak peduli pada “dunia” dan semangat Zen itu sendiri.
bodhidharma2a
Di dalam tradisi Zen, hidup dilihat sebagai sesuatu yang sekedar ada pada dirinya sendiri. Tidak ada tujuan khusus yang ingin dituju. Cara berpikir ini juga mengalir dalam di dalam seni Zen. Seni tidaklah memiliki tujuan. Ia juga ada pada dirinya sendiri, sekedar ada. Seni Zen adalah cara mengungkapkan kondisi berpikir sang artis yang menekankan kesekarangan dan kekosongan. Sejatinya, dua hal ini adalah pengalaman setiap orang. Kita mengalaminya, ketika terpaku oleh keindahan alam, ketika kita mencintai dan dicintai, atau ketika kita sendiri berjalan di hutan yang penuh dengan pohon hijau dan burung bernyanyi. Pada saat-saat ini, kita mengalami kenyataan dan kehidupan pada dirinya sendiri, tanpa bahasa dan tanpa konsep. Di dalam tradisi Zen, pengalaman semacam ini hendak dijadikan bagian dari hidup manusia setiap saatnya. Tradisi seni Zen menjadikan momen ini sebagai dasarnya. Setiap goresan dan kata menjadi ungkapan dari momen kekosongan dan kesekarangan ini.
Puisi di dalam tradisi Zen juga memiliki pola yang sama. Setiap kata adalah ungkapan dari penghayatan Zen itu sendiri, yakni penghayatan akan sikap alami dan kekosongan dari segala sesuatu. Dengan kata lain, puisi Zen tidak mengatakan apapun melalui kata-katanya. Puisi Zen bukanlah tanggapan ataupun interpretasi atas kenyataan, melainkan ungkapan dari kenyataan itu apa adanya, tanpa bumbu ataupun tambahan apapun. Seni adalah ungkapan dari realitas apa adanya. Kenyataan dan kehidupan apa adanya ini dapat dialami dan diungkapkan, ketika segala bentuk pikiran konseptual dan bahasa berhenti. Dalam arti ini, puisi Zen adalah “puisi tanpa puisi”. Ia menggunakan bahasa untuk melenyapkan bahasa itu sendiri. Ini beberapa contoh puisi Zen:
kamu menyalakan api. Aku akan menunjukkan sesuatu yang cantik… bola salju!
Yang lainnya:
Betapa mengagumkan, mereka yang tidak berpikir, hidup mengalir, ketika ia melihat petir.
Tentang alam:
Rumput di sawah, sekedar berbaring.. Pupuk!
Tentang malam:
Malam yang panjang, suara air mengatakan apa yang kupikirkan, secara lebih langsung…
Bintang dan kolam:
Pantulan bintang di kolam, sekali lagi angin dingin menggerakan air…
Zen bisa dianggap sebagai teh. Ia memberikan kejernihan. Rasa pahit halus yang muncul justru membuat orang terbangun dari keterlenaan tubuh maupun pikirannya. Rasa pahit ini bagaikan semangat alami dan kekosongan yang menjadi inti dari Zen. Ia juga bisa dilihat sebagai jalan tengah antara rasa manis dan asam. Di masa lalu, teh digunakan untuk membantu orang tetap terjaga, ketika melakukan meditasi duduk. Kebiasaan ini berkembang menjadi ritual minum teh. Tujuannya adalah melatih kesadaran pikiran manusia adalah keadaan disini dan saat ini. Teh adalah alat untuk membangunkan manusia dari keterlenaan pikirannya yang cenderung bergerak ke masa lalu dan masa depan. Di negara-negara dengan empat musim, teh memberikan kesegaran di musim panas, dan menghangatkan tubuh di musim dingin. Ini amat penting, terutama untuk para pertapa Zen yang hidup sendiri di gunung atau hutan. Teh juga dianggap melambangkan semangat dasar Zen, yakni sikap alami, kekosongan dan kesederhanaan hidup.
Ritual minum teh dibawah ke Jepang pada abad 15 dari Cina sebagai bagian dari ekspresi semangat Zen. Teh yang digunakan adlah bubuh teh hijau, yang dicampur dengan air panas, dan kemudian diaduk dengan menggunakan kuas kecil, sampai ia berubah warna menjadi seperti jamrud. Ritual ini biasanya dilaksanakan di antara dua orang, atau kelompok kecil. Selain sebagai bagian dari latihan untuk menyadari keadaan disini dan saat ini, teh biasa digunakan oleh para pedagang dan samurai untuk keluar dari rutinitas keseharian mereka yang penuh dengan tekanan. Ritual teh bukanlah ritual religius. Sebaliknya, ritual teh merayakan keseharian hidup manusia yang normal. Dalam beberapa kesempatan, diskusi diperbolehkan, walaupun bukan diskusi politik ataupun bisnis, melainkan diskusi filsafat dan seni. Prinsipnya adalah semua harus dijalankan secara alami, tanpa kepura-puraan.
Tema-tema filsafat dan keindahan alam sebenarnya sudah menjadi tema keseharian percakapan di Jepang dan Korea. Ini bukanlah semacam pelarian dari dunia politik dan bisnis, melainkan sesuatu yang alamiah terjadi, ketika dua orang duduk untuk bercakap-cakap. Yang menjadi latar belakang adalah semangat dasar Zen, bahwa hidup adalah sesuatu yang sekedar ada. Tidak ada tujuan yang perlu untuk dicapai di masa depan. Semuanya hanya perlu dibiarkan mengalir apa adanya. Ketika ini terjadi, maka pikiran akan mencapai titik alamiahnya. Tidak ada guncangan dan gerakan sedikit pun di dalam pikiran. Inilah pikiran Buddha yang juga merupakan jati diri sejati dan alamiah segala sesuatu, termasuk manusia. Di dalam tradisi Theravada Buddhisme, keadaan batin semacam ini disebut juga sebagai Nirvana. Di dalam tradisi Zen, orang yang telah mencapai tahap ini disebut juga orang yang telah mengalami pencerahan batin, atau orang yang sudah bangun (Buddha).
Semangat Zen tidak hanya ditampilkan di dalam karya seni dan ritual teh, tetapi juga di dalam cara menata taman. Di dalam tradisi Zen, taman bukanlah ungkapan kemewahan atau keindahan semata, tetapi juga sikap alami dan spontan dari alam. Dalam arti ini, peran seorang penata taman adalah membantu alam mengungkapkan dirinya. Dengan kata lain, dirinya harus minggir, supaya alam bisa berkarya melalui karyanya, dan kemudian menciptakan taman yang tampak seperti kebetulan yang bersifat alami dan spontan. Semua bentuk pendapat manusiawi harus ditunda. Yang kemudian muncul adalah “taman tanpa taman”, atau taman tanpa intensi menjadi taman. Sikap alamiah dari seorang penata taman pun harus dilatih. Ia perlu merawat taman, namun bukan dari sudut pandang pribadi atau seleranya semata, tetapi justru dari sudut pandang alami taman itu sendiri. Ia membiarkan taman tampil apa adanya melalui tangannya. Seorang penata taman bukanlah entitas yang terpisah dari alam. Ia adalah alam, dan ia merawat taman tanpa merawat taman itu sendiri. Taman yang dihasilkan adalah taman yang sepenuhnya ciptaan manusia sekaligus amat alami.
Zen juga mempengaruhi seni bela diri di Jepang, terutama seni menggunakan panah. Prinsip dari seni panah adalah bahwa ia harus dilakukan secara alami, tanpa tujuan apapun, sama seperti benih yang bertumbuh menjadi tanaman, atau pohon bertumbuhan, ketika musim panas tiba. Seorang murid seni panah di dalam tradisi Zen harus terus berlatih tanpa latihan. Ia harus berlatih, tanpa mencoba dengan kehendaknya. Ia harus melepaskan anak panah, tanpa kehendak untuk melepaskannya. Seorang master seni panah menekan muridnya untuk terus berlatih, tidak hanya untuk melatih tekniknya, tetapi juga melatih pikirannya untuk tidak berpikir. Anak panah haruslah melepas dirinya sendiri secara alami dari busur. Sang pemanah harus menyatu dengan alam, sehingga semua gerak menjadi alami. Prinsip tanpa pikiran dan tanpa maksud menjadi dasar dari seni panah Zen. Ego si pemanah harus lenyap, sehingga alam bisa mengambil alih, dan kemudian melepaskan anak panah dari busurnya.
Prinsip membiarkan anak panah melepas dirinya sendiri ini juga diterapkan di dalam melukis atau membuat puisi. Kuas harus bergerak secara alami, seolah ia melukis dengan kehendaknya sendiri. Sang pelukis harus melepaskan semua bentuk tujuan, pikiran dan ego. Inilah yang sungguh menjadi pusat perhatian Zen. Latihan utama adalah melepaskan semua bentuk usaha dan tujuan, serta menjadi alami sepenuhnya. Hal yang sama diterapkan di dalam seni pedang. Spontanitas dan sikap alami juga menjadi prinsip utama, sehingga orang bisa menanggapi apapun yang terjadi secara cepat dan tepat. Dalam arti ini, keputusan sadar harus dijauhi. Yang utama adalah keputusan yang langsung sejalan dengan tindakan, atau keputusan spontan. Setiap saat adalah saat yang terpisah dari saat sebelumnya. Tidak ada sebab akibat yang merangkai tindakan. Ini sesuai dengan prinsip utama Zen, bahwa yang sesungguhnya nyata adalah saat ini yang tak ada hubungannya dengan saat sebelumnya, dan saat sesudahnya. Tidak ada sebelumnya, dan tidak ada sesudahnya.
Di dalam seni pedang, sang murid diminta memegang pedang yang masih tersarung, lalu, secara tanpa pikiran dan tanpa ego, melepas pedang itu, dan membunuh musuhnya. Tindak menusuk atau menebas musuh adalah tindakan yang sepenuhnya alami dan spontan, tanpa pikiran ataupun pertimbangan apapun. Ketika memegang busur yang tegang, sang murid lalu melepaskan busur anak panah tersebut, juga tanpa pikiran dan pertimbangan apapun. Hal yang sama di dalam melukis dan menulis puisi. Ini sesuai dengan prinsip Zazen (meditasi duduk), yakni sekedar duduk, tanpa pikiran ataupun pertimbangan apapun. Duduk demi duduk itu sendiri. Semangat Zen adalah semangat seorang penjelajah sejati. Ia tidak memikirkan tempat tujuannya. Yang menjadi fokusnya adalah perjalanan yang bermutu.
Kita hidup di dunia yang hanya mementingkan hasil akhir. Tujuan menjadi segala-galanya. Proses dan perjalanan dianggap sebagai biaya yang harus dibayar. Jika bisa dipotong, maka proses dan perjalanan sedapat mungkin dihindari. Dunia semacam ini kehilangan substansinya. Orang bisa pergi kemanapun dan kapanpun, namun tanpa makna dan kepuasan yang mendalam. Perjalanan yang sesungguhnya tidaklah pernah sampai, karena ia tidak memiliki tujuan. Ia adalah gerak tanpa gerak, atau gerak tanpa maksud. Seni di dalam Zen, termasuk juga seni bela diri, berfokus pada gerak dan proses itu sendiri, dan bukan hasil akhirnya. Di titik ini, hasil akhir menjadi sepenuhnya tidak penting. Yang juga menarik adalah, seperti yang beberapa kali saya alami, orang kerap kali menemukan hal-hal tak terduga, ketika ia melakukan segala sesuatu secara alami, tanpa maksud, tujuan ataupun pertimbangan apapun. Orang mendapatkan ide ataupun sudut pandang baru untuk menjalani hidupnya. Lebih tepat dikatakan, ide tanpa ide, atau sudut pandang tanpa sudut pandang. Ini sama dengan spiritualitas perjalanan. Hal-hal menarik ditemukan justru di dalam perjalanan, dan bukan ketika orang sampai pada tujuan.
Banyak orang masuk ke dalam Zen, supaya ia menemukan pencerahan batin. Mereka mengira, bahwa pencerahan batin adalah pengalaman yang istimewa. Namun, pandangan ini justru adalah suatu bentuk salah paham. Pencerahan batin adalah kebetulan yang terjadi, ketika orang bermeditasi. Ia terjadi secara alami, tanpa maksud dan tujuan. Zen juga mengajak kita untuk menyadari sungguh, bahwa hidup itu sejatinya tanpa konsep, dan tidak bisa dikontrol oleh kekuatan kita, manusia. Kita hanya perlu menjalaninya, sambil melepaskan semua bentuk pikiran, konsep dan ambisi kita. Pendek kata, kita hanya perlu menjalaninya secara alami. Zen berada di titik tengah di antara dua kutub. Di satu sisi, ada pelaku yang melakukan tindakan, walaupun tindakan itu dilakukan tanpa pikiran dan pertimbangan apapun. Di sisi lain, ada dunia yang sepenuhnya bergerak secara alami, tanpa bisa dikontrol oleh apapun atau siapapun.
Juga penting untuk diperhatikan, bahwa Zen mencoba melihat kenyataan ini apa adanya. Pada tingkatan ini, tidak ada perbedaan. Pandangan ini sulit diterima oleh filsafat dan ilmu pengetahuan modern yang menekankan perbedaan, terutama dualitas, seperti dualitas pikiran-tubuh, spiritual-material, suci-fana, dan sebagainya. Yang lebih ekstrem lagi, filsafat dan ilmu pengetahuan modern juga menekankan dikotomi, yakni benar-salah, baik-buruk, dan hitam-putih. Zen tidak melihat dualitas dan dikotomi sebagai bagian dari alam. Maka, ia mengabaikannya. Pola pikir semacam ini juga tampak di dalam tradisi seni Zen. Semua bentuk seni, mulai dari melukis, menulis puisi sampai dengan seni pedang, menekankan kesatuan dan keterhubungan segala sesuatu. Ia melampaui segala bentuk perbedaan, dualitas, dan dikotomi. Ia ada, dan terus berubah secara berkelanjutan. Ada satu tindakan yang terus dilakukan secara berkelanjutan, yakni bernafas. Bernafas dilihat sebagai tindakan yang menyatukan, yakni tindakan yang melampaui segala bentuk perbedaan, dualitas dan dikotomi. Bernafas mengembalikan orang ke keadaan disini dan saat ini. Ia mengembalikan kesatuan ke dalam pikiran yang biasanya terbelah oleh berbagai keadaan.
Di dalam meditasi, salah satu kuncinya adalah mengamati gerak nafas. Cara ini tidak hanya ditemukan di dalam tradisi Zen, tetapi juga di dalam tradisi Yoga India dan Taoisme di Cina, sebelum Zen muncul. Tujuan utama dari bernafas di dalam beragam tradisi ini adalah untuk melepas segala bentuk kontrol atas kenyataan hidup yang biasanya dimiliki manusia. Bernafas membawa orang pada kesatuan dan keheningan. Bernafas adalah proses yang memiliki ritme tersendiri. Ini berlangsung terus, sampai ketika manusia, atau semua jenis mahluk hidup, meninggal. Gerak nafas mirip dengan gerak manusia itu sendiri. Sejatinya, manusia bukanlah substansi, melainkan gerak, atau proses, yang terus terjadi, dan terus berubah. Ini sesuai dengan prinsip nafas. Maka, bisa dibilang, manusia adalah nafasnya. Gerak nafas untuk meraih dan mengolah udara adalah gerak manusia di dalam menjalani kehidupan itu sendiri. Aku bernafas, maka aku ada.
Ketika manusia sedang mengalami emosi yang kuat, seperti takut, sedih atau marah, nafasnya menjadi tidak teratur. Orang mengalami kesulitan mengatur gerak keluar masuknya udara secara alami. Bahkan, orang kerap kali merasa sesak, akibat tekanan emosi yang ada. Di dalam Zen, dan juga di dalam tradisi India dan Cina pada umumnya, meditasi difokuskan pada nafas. Nafas dibuat sealamiah mungkin, sehingga terasa bebas dan melegakan. Yang cukup penting diperhatikan adalah, bahwa saat awal, udara di paru-paru perlu dikeluarkan seluruhnya, sebelum hirupan pertama dilakukan. Setelah buangan nafas pertama ini, pernapasan lalu dilakukan sealamiah mungkin secara spontan.
Di dalam tradisi Zen, bernafas memiliki dampak psikis sekaligus dampak fisik. Dampak fisiknya adalah memberikan ketenangan bagi tubuh, sehingga segala bentuk ketegangan bisa diredakan. Dampak psikisnya adalah membawa pikiran kembali ke keadaan disini dan saat ini. Semua ini bisa diperoleh, ketika orang sungguh bernapas secara alami, tanpa usaha dan ketegangan apapun. Banyak orang sulit melakukan hal ini. Ketika ia berusaha untuk bernapas secara alami, justru ia merasakan tegang, sehingga tidak bisa bernapas secara leluasa. Disinilah letak sisi unik dari Zen, yakni segala usaha harus dilepaskan, sehingga segala ketegangan ikut hilang bersamanya. Usaha berarti menciptakan tujuan tertentu, dan tujuan berarti menciptakan ketegangan baru yang justru membuat orang tidak bisa menjadi sepenuhnya tenang dan alami. Dengan kata lain, orang harus berhenti berusaha bernapas, supaya ia bisa bernapas dengan leluasa. Ketika napas dibiarkan sepenuhnya ada, maka ia justru akan bergerak secara alami, dan memberikan kelegaan. Pernapasan di dalam Zen berarti melepaskan dan mengamati pernapasan itu apa adanya, tanpa usaha dan campur tangan pikiran apapun.
Pernapasan di dalam Zen bukanlah sesuatu yang istimewa. Ia biasa-biasa saja, seperti Zen itu sendiri. Zen sendiri bukanlah sesuatu yang istimewa. Ia adalah jalan hidup yang perlu diterapkan setiap saat dalam hidup manusia, sama seperti bernafas itu sendiri. Pernapasan alami juga sesungguhnya adalah tindakan refleks manusia setiap saat. Jika dilihat seperti ini, sikap batin dan pola pikir di dalam Zazen sebenarnya tidak hanya bisa dilakukan sewaktu duduk, tetapi juga setiap saat di dalam hidup manusia. Seni hanyalah salah satu bidang, dimana Zen bisa diterapkan secara langsung. Pemahaman ini melepaskan kita dari salah satu penyakit para praktisi Zen, yakni kelekatan pada meditasi duduk, dan kelekatan pada satu bentuk tradisi Zen. Yang paling penting adalah kualitas pikiran dari tindakan yang kita lakukan. Jika pikiran kita mampu mencerminkan sikap alami dan kekosongan dari kenyataan itu sendiri, maka itu adalah praktek Zen, walaupun kita, misalnya, sedang mandi, atau sekedar gunting kuku.
Hidup yang berpijak pada semangat Zen adalah hidup yang sepenuhnya disini dan saat ini. Ketika orang sepenuhnya disini dan saat ini, ia menyadari jati diri sejatinya. Ia mengalami pencerahan batin disini dan saat ini, selama pikirannya berpijak pada kenyataan yang ada, dan bukan sekedar pada letupan emosi sesaat yang kerap kita kira sebagai kenyataan dan kebenaran itu sendiri. Yang diperlukan adalah kehadiran sepenuhnya disini dan saat ini. Inilah Zen. Pada titik ini, Zen juga bisa dianggap sebagai upaya untuk melampaui waktu, karena waktu adalah ciptaan pikiran. Ketika kita sadar sepenuhnya akan jati diri sejati kita, kita akan juga otomatis sadar, bahwa tidak ada waktu, selain saat ini dan disini. Masa lalu dan masa depan adalah konsep-konsep ciptaan pikiran yang tidak ada hubungan dengan kenyataan.
Banyak orang terus berpikir soal masa lalu dan masa depannya. Mereka tercabut dari kenyataan, dan kehilangan masa kini. Padahal, masa kini yang sesungguhnya ada. Orang yang terus terjebak di antara masa lalu dan masa depan seringkali merasa, bahwa mereka tidak punya waktu. Ketika mereka melepaskan pikiran delusional tentang masa lalu dan masa depan, mereka bisa mencerap saat ini. Di titik ini, tidak ada lagi waktu. Yang ada hanya kebenaran dan kedamaian itu sendiri. Orang masuk pada apa yang disebut sebagai kesekarangan yang abadi. Orang lalu juga bisa sadar, bahwa pemahamannya tentang waktu adalah pemahaman yang linear, yakni ada masa lalu, yang berlanjut ke masa kini, dan kemudian masa depan. Pemahaman ini adalah ciptaan pikiran manusia, dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Pemahaman ini juga lahir dari kecenderungan manusia untuk mengonsepkan segala sesuatu, sehingga mereka sibuk hanya dengan konsep, dan lupa menyentuh kenyataan apa adanya.
Dengan cara berpikir konseptual semacam ini, mereka lalu mau menguasai alam, dan menggunakannya, bahkan sampai hancur, demi kepentingan sempit manusia. Inilah salah satu sumber masalah kita di abad 21 ini. Akarnya adalah kelekatan yang begitu kuat pada pikiran dan konsep. Dengan merumuskan konsep atas sesuatu, kita merasa sudah memahami dan menguasainya. Sekarang ini, kesadaran kita menjadi begitu kuat, sehingga justru menggiring kita pada keadaan berpikir dan menganalisis berlebihan. Namun, kenyataan tidak bergerak dengan kesadaran dan pikiran rasional semacam ini. Kenyataan bergerak secara alamiah dan spontan, tanpa tujuan apapun. Semua terjadi pada waktu yang sama, dan apa adanya. Zen ingin mengajak orang untuk melepaskan kesadaran dan pikiran berlebihannya, lalu belajar hidup seperti alam, yakni secara spontan dan alami, tanpa tujuan dan tanpa ambisi apapun untuk diwujudkan. Di titik ini, orang masuk ke keadaan disini dan saat ini. Ia hidup dari jati diri sejatinya.
Setiap orang bisa menyadari jati diri sejatinya, jika ia melepaskan segala ambisi dan keinginan untuk mengontrol kenyataan dan kehidupan sesuai dengan kehendaknya. Ia perlu mencoba, tanpa berusaha, karena usaha menciptakan tujuan dan ketegangan. Dua hal ini menghalangi manusia untuk menyadari jati diri sejatinya. Ia hanya perlu membiarkan semua apa adanya, dan kemudian merasakan kesekarangan yang abadi. Menjadi sepenuhnya disini dan saat ini, itulah jati diri sejati manusia, sama seperti mendengar dan melihat secara jernih, serta bernafas dengan leluasa. Orang yang mencoba untuk melihat tidak akan dapat melihat dengan jelas. Orang yang mencoba untuk mendengar tidak akan bisa mendengar dengan jernih. Melihat dan mendengar dengan jernih hanya dapat terjadi, ketika orang berhenti berusaha untuk melihat dan mendengar, serta membiarkan inderanya bekerja secara alami. Hal yang sama terjadi, ketika orang hendak berusaha bernafas. Ia justru tidak bisa bernafas dengan leluasa. Untuk bisa bernafas dengan lancar, orang hanya perlu membiarkan hidung dan paru-parunya bekerja secara alami. Zen mengikuti prinsip alami semacam ini. Orang bisa menyadari jati diri sejatinya dan mencapai pencerahan batin, jika ia melepaskan segala bentuk pikiran konseptual yang bercokol di kepalanya. Pada titik ini, ia sepenuhnya hidup di saat ini.
Jika kita mencari kebenaran dan kebahagiaan di dalam hidup kita, kita dapat menemukannya disini dan saat ini, asal pikiran kita bersih dari segala bentuk konsep dan bahasa. Kebenaran dan kebahagiaan itu ada di depan mata kita. Ia tidak pernah pergi kemana-mana. Ketika kita berusaha menangkapnya dengan pikiran kita, ia seolah lenyap. Namun, ketika pikiran kita bersih dari segala bentuk konsep, ia muncul dengan amat jelas dan terang. Sejatinya, ia bagaikan udara yang ada di sekitar kita. Kata “kesekarangan” atau “disini dan saat ini” juga adalah konsep. Ia dirumuskan oleh pikiran dalam kaitan dengan masa lalu dan masa depan. Jadi, sejatinya, ia juga tidak ada. Ia hanya sekedar konsep. Maka, “kesekarangan” dan “disini serta saat ini” pun harus dilepas. Sejatinya, ia tidak punya nama. Ia hanya sekedar ada. Inilah inti terdalam dari Zen, yakni “sekedar ada”.

Sumber : 
https://rumahfilsafat.com/2015/08/07/zen-dalam-lukisan-puisi-dan-bela-diri/
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net

1 comment:

  1. manstaaav http://wrhphilosophers.blogspot.co.id/2017/12/kisah-zen-pikiran-pemula-zen-suzuki-roshi.html

    ReplyDelete